Manusia Minangkabau Sekarang

Bookmark and Share

Oleh: Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Kebanyakan anak kemenakan pewaris atau pendukung kebudayaan Minangkabau sekarang tidak lagi memiliki daya refleksi untuk cepat tanggap, dan tangguh, tidak lagi memiliki kepekaan reaksi untuk cepat bertindak, mengambil keputusan dan berkiprah tentang berbagai fenomena keminang kabauan yang terjadi. Mereka lebih suka menunggu dan menonton. Kemu dian bertanya bahkan mencemeeh sendiri :

Apa itu Minangkabau,
mengapa,
bagaimana
di mana,
bilamana,
untuk apa ?

Manusia Minangkabau yang tidak cepat tanggap, tidak reaktif meng akibatkan hilangnya daya reflektif, hilangnya semangat untuk berlomba-lomba memajukan budaya bangsa lewat nilai-nilai budaya negeri sendiri, lewat nilai-nilai sako korong jo kampuang. Menurut budayawan Chairul Harun (alm.) yang semasa hidupnya dikenal sebagai seorang seniman buda yawan pemikir dan strateg budaya Alam Minangkabau yang gigih menggali, menghidupkan dan mengembangkan seni tradisi mengatakan :

bangunan bergonjong

 “Mereka (generasi Minangkabau, pen.) tidak ingin cepat menjadi manusia Indonesia yang berkualitas baru dan energik seperti juga mereka tidak ingin cepat untuk menjadi manusia Universal. Kadang-kadang mereka seperti si buta di malam gelap dan begitu asyik berceritera tentang berbagai warna dunia yang hanya mereka mamah lewat imajinasi buku-buku asing, atau karena cerita-cerita orang tentang mimpi-mimpi yang diulas dan ditulis secara rapi, setelah ia bangun dari tidurnya. Kebiasaan memamah biak pikiran-pikiran orang lain, menjadikan mereka tidak sempat untuk berfikir melebihi fikiran orang lain itu.” (Harian Singgalang, 1989).

Selanjutnya dikatakan bahwa “ hanya segelintir orang yang memiliki kesadaran tentang limbago yang mulai berkecambah. Tetapi karena jumlah nya kecil mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka memang mencoba menyingkirkan berbagai unsur, berbagai kekuatan yang akan menimbun serta mematikan kecambah itu. Tetapi apa daya, tenaga terbatas. Mereka hanya tercenung dan prihatin”.

Tampaknya manusia Minangkabau sekarang tidak lagi memahami makna amanah, apalagi untuk melaksanakan amanah berupa pesan-pesan budaya, pesan sejarah, pesan-pesan ilmu pengetahuan taktik dan strategi budaya yang meliputi bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka tidak lagi berfikir bagaimana seharusnya teknik pembinaan generasi muda dan pengeta huan tentang kepemimpinan dengan corak dan gaya pelaksanaan khas Alam Minangkabau dapat digali dan dikemas dalam format baru yang lebih sesuai.

Karenanya mereka belum bisa menjadi manusia utuh, manusia uni versal yang kokoh dan penuh harga diri dalam pergaulan antara bangsa. Akibatnya mereka sering menjadi bulan-bulanan kelompok tertentu, baik dibidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, Bahkan sekarang telah mema suki wilayah adat dan agama yang dianut dan diyakininya. Karena tingkat kemampuan yang bisa dicapai baru sebatas jadi pelayan-pelayan, abdi-abdi kampung dalam (abdi dalam), dengan pengabdian-pengabdian semu penuh gagasan yang dilengkapi dengan orasi-orasi yang menggebu-gebu namun kemudian setelah gagasan itu menumpuk menggunung, ternyata mereka jadi bingung sendiri. Seakan-akan “gunung gagasan” itu akan menimpa dirinya sendiri.

Masih mendingan kalau mereka sadar, tapi celakanya ada yang hilir mudik mengkundang-kundang gagasannya kesana kemari, sambil berteriak inilah kebangkitan, inilah pembangunan, inilah kesejahteraan, inilah kemakmuran dan lain sebagainya. Lalu diam-diam lobi sini, lobi sana, tak peduli ada orang “nan ka tasingguang dek kanaiek, talendo dek katurun”.

Pada hal “Minangkabau” telah ber-amanah, kalau mau berbuat ber buatlah dalam alam, kalau mau mengabdi, mengabdilah dalam alam, arti nya berbuatlah dan mengabdilah demi kedamaian dan kesejahteraan semesta alam, bersama-sama dan total secara keseluruhannya, bukan setengah-setengah demi mempertahankan kepentingan individu, kelompok, atau golong an. Mengabdilah dengan ikhlas, memimpinlah dengan adil, ingatlah “iduik ka mati”, pasti mendapat kehormatan dari langit. Carilah Mardhatillah

Kalau mau meniru, maka tirulah hukum-hukum alam, kalau mau membaca, bacalah hukum alam, hayatilah dan renungkanlah gejala alam yang memberi kias dan ibarat hukum, yang memberikan kekayaan ruhani dengan berbagai fenomena yang diisyaratkannya, jangan meniru atau menjiplak barat atau timur, utara atau selatan. Kalau mau berkuasa, kuasai lah tabi’at alam, taklukkan dan uruslah alam. Kalau mau jadi pemimpin, jadilah pemimpin dalam alam, maka belajarlah memimpin diri sendiri, memimpin keluarga dan kaum yang lebih besar demi keselamatan dan kesejahteraan dalam alam. Latih dan binalah diri, keluarga dan kaum yang lebih besar berdiri tegak berjalan lurus di alur alam. Dan kalau mau belajar, belajarlah dalam alam, bersandarlah kepada batang pohonNya dalam alam, jangan asik mengumpulkan daun-daun kering, silaro yang jatuh bergu guran.

Tetapi hidupkanlah semangat berguru kepada alam, semangat menuntut ilmu secara benar, dan mintalah bimbingan kepada Sang Pencipta Alam. Jadikanlah hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan Yang Maha Menciptakan, sebagai pedoman dan acuan kepustakaan dalam alam. Jangan hanya sekedar semboyan Alam Takambang Jadikan Guru.

Tetapi, ternyata, manusia pewaris kebudayaan Minangkabau yang sekarang dinamakan Budaya Alam Minangkabau telah ragu untuk mampu lagi tegak berdiri kokoh, untuk menjadi tuan atas wilayahnya sendiri, seperti yang diisyaratkan sejarah negeri sendiri, dengan perjalanan keberadaan

Datuk Di Ngalau, Sri Maharaja Diraja Suryanarayana Mauli warmadewa, Sri Maharaja Indrawarmandewa, Tuanku Tigalaras Sri Tribuwana Mauliwarmadewa, Putri Reno Marak, Dt. Sri Maharajo Dirajo, Putri Reno Jani, Datuk Suri Dirajo, Putri Indo Jalito, Ninik Indojati, Sultan Tajul Alamsyah, Sulthan Muhammadsyah, Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang, Datuk Sari Maharajo Nan Banego-nego, Purtri Reno Sudah, Putri Reno Jamilan, Yang Dipertuan Maharaja Nan Sakti, Dewang Bonang Sutowano, Sulthan Maharaja Hakikat, Putri Panjang Rambut, Putri Kasumbo, Putri Salareh Pinang Masak, Bundo Kanduang, Putri Reno Kumalo, Dang Tuanku, Cindua Mato, Dewang Ranggowano, Malin Dewa, Anggun Nan Tongga, dan tokoh legendaris Putri Reno Selaras Pinang Masak, Pinang Siberibut yang terkenal berjuang mengusir penjajahan Portugis di pantai barat Sumatera Barat.

Pada generasi-generasi berikutnya kemudian dilanjutkan oleh alim ilmu terkenal seperti Syaikh Burhanuddin Ulakan, Syaikh Jalaludin, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pamansiangan Koto Tuo, Inyiek Parabek, Inyiek Canduang, Siti Manggopoh, Bung Hatta, Bung Syahrir, Agus Salim, Yamin, Hamka, dan banyak-lagi tokoh-tokoh pendekar negeri, para alim ilmu yang tidak tercatat di negeri ini, juga seperti yang diamanatkan dalam cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yang dicantumkan dalam UUD 1945.

Manusia Minangkabau sekarang, menurut Chairul Harun, paling tinggi baru menjadi “manusia Luak, manusia Luak Nan Tuo, manusia Luak Nan Tangah, atau manusia Luak Nan Bungsu.” Ironinya lagi, justru saat ini ketika beliau sudah tidak ada lagi, terbukti kebenaran pendapat Chairul di zaman reformasi ini. Ketika canang untuk kembali ke nagari telah dibunyi kan, justru mereka banyak terperangkap sebagai manusia kabupaten, manu sia kota, bahkan “manusia nagari”, menurut versinya masing-masing yang mengacak langan bak langan, mengacak batih bak batih. Mereka begitu susah untuk menjadi “manusia Indonesia Baru”, seperti diisyaratkan oleh “Minangkabau” itu sendiri, manusia yang berwawasan nusantara, manusia Universal. Apa kelemahan sekarang ?

Kelemahan utama manusia Minangkabau sekarang menurut Chairul adalah “pemalas”, mereka jadi “pemamah biak”. Mereka kembali “berburu”, “bakumain” sebagai pemburu materi, pemburu proyek, pemburu jabatan, kekuasaan dan pangkat, pemburu mangsa yang disukai tak obahnya seperti kehidupan di zaman purba yang menerkam mangsanya tanpa belas kasihan. Mereka tidak lagi memiliki kesetiaan, tidak loyal dengan pendirian mereka sendiri yang telah diikrarkannya. Mudah saja baginya pindah partai, pindah golongan, bahkan pindah aqidah, karena tidak lagi bakumain undang jo barih balabeh adat, mereka tidak lagi bermain Cupak dengan Gantang. Sehingga dengan mudah :

Cupak dianjak urang panggaleh,
Gantang dialieh urang lalu.

Mereka tidak lagi mengerti, memahami, menghayati atau mengarifi symbol “cupak” dan “gantang” menurut Alam Fikiran Minangkabau. Pada hal cupak dan gantang itu adalah “takaran kehidupan” yang harus dipakai dan diarifinya dalam mengarungi kehidupan sepanjang Adat Alam Minang kabau. Karenanya, seperti disampaikan Chairul, mereka mengidentikkan diri pada legenda yang berkembang jadi mitos yaitu “Minangkabau” itu adalah “Kabau”. Barangkali karena kemalasan itulah mereka tidak mampu menjadi manusia yang berfikir konfrehensif, berfikir total secara menyeluruh, tidak mampu :

mangaruak sahabih gauang,
mahawai sahabih raso,
karano cinto mamang
pariso ragu.

Tidak mampu mambalun sabalun kuku mangambang saleba alam. Tidak mampu merumuskannya dalam butir-butir yang dapat dipertanggung jawabkan secara bersama. Walau telah dikerahkan upaya sarana, prasarana dan dana untuk itu.

Acak-acak nagari alah,
Sio-sio utang tumbuah
kok bakareh,
arang abih basi binaso.

Karena mereka sudah sibuk mangureh tanago / menguras energi untuk bisa membaca yang tersurat, tak ada lagi daya dan upaya untuk me nguak tabir yang tersirat, apalagi untuk hal-hal yang tersuruk. Kelambanan dan kedangkalan berfikir itulah yang menyebabkan mereka jadi puas hanya sebagai pelayan, tukang-tukang ambil muka, sebagai budak-budak kebuda yaan ampas, sekedar untuk memenuhi selera rendah dunianya saja. Akibatnya mereka mudah dibeli, bahkan terlalu murah untuk dibeli. Sehing ga cukup sulit untuk menggugah mereka untuk melaksanakan program peren canaan, pembangkitan, dan pembangunan sosial budayanya sesuai dengan pesan adat dengan isyaratnya yang tertuang dalam ungkapan :

1. Mambangkik batang tarandam,batagak tonggak tuo.
2. Manapiek mato padang, paapuih coreang di muko
3. Manantang matoari, paapuih malu di kaniang
4. Manjapuik piutang lamo, panantang dunia urang

Atau terasa amat sulit untuk mengajak mereka untuk baguru kepada Alam. Juga sulit untuk mengingatkan mereka belajar dari alam dan peng-Alam-an. Pada hal Sang Khaliqul Alam telah memberikan berbagai mata pelajaran untuk peng-alam-an, bahkan peringatan telah disampaikan lewat alam ciptaanNya, yakni peringatan-peringatan lewat laut yang menggulung kehidupan, lewat air yang menggenangi kota, lewat api yang membakar ne geri, lewat angin yang memutar balikkan cuaca nusantara dan lewat tanah yang merengkah patah bumi persada ini.

Mereka yang sempat bersekolah tinggi, menurut Chairul malahan jadi didik, jadi linglung, hilang akal, malahan mungkin sibuk mempertu karkan fikiran dengan sederetan buku-buku tebal karangan luar negeri, sehingga akibat dari fikiran yang bertukar-tukar itu justru tampak sebagai laku perangai, fi’il dan kurenah ketidak stabilan, ketidak warasan karena batuka aka, bertukarnya standar nilai. Ternyata Bang Chairul benar, Mi nangkabau itu sekarang memang “meminang” kabau.

Dok. Salimbado Grup, 2007
Lembaga Pusat Kajian Tradisi BAM di Padang.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar