Seperti telah dikemukakan dalam seri 003 bahwa ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah-sekolah umum dibangun di atas landasan filsafat positivisme. Artinya ilmu pengetahuan itu tidaklah polos melainkan sudah dijerumuskan berpihak kepada yang atheis, tidak percaya akan Tuhan, yang agnostik, acuh tak acuh tentang Tuhan, dan yang deist, tidak percaya akan wahyu walaupun percaya akan adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang demikian itu hanya mempunyai dua sumber yaitu alam dan sejarah.
Para pakar yang atheist, agnotik dan deist dalam menganalisa pergelutan pandangan, benak dan alam pikiran manusia, tentu saja hanya memakai pendekatan historis. Sayangnya para pakar yang beragama Islam turut pula terperangkap ke dalam jaring filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian hasil analisa mereka itu akan dicap tidak ilmiyah: melanggar rambu-rambu dan tatacara keilmuan. Demikianlah para pakar dari ketiga golongan itu yang tergabung dalam filsafat positivisme bersama-sama dengan para pakar yang beragama Islam yang ikut terseret secara sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama sebagai komponen atau bagian dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari hubungan antara agama dengan agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil imajinasi dan sastra bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan historis itulah.
Ilmu pengetahuan harus dibina atas landasan Tawhid. Dengan demikian sumber ilmu pengetahuan itu adalah wahyu, alam dan sejarah. Wahyu berwujud Ayat Qawliyah, alam dan sejarah disebut Ayat Kawniyah. Para pakar orang-orang Islam akan terpelihara aqidahnya dalam berilmu. Mereka akan memilah-milah agama, mana agama yang bersumber dari wahyu yang disebut agama wahyu, mana agama yang akarnya dari kebudayaan yang disebut dengan agama kebudayaan, mana agama wahyu yang mendapatkan polusi dari kebudayaan, dan mana agama kebudayaan yang mendapat imbas dari agama wahyu. Pendekatan yang dipakai dalam berilmu adalah kombinasi antara pendekatan non-historis yaitu bersumber dari Ayat Qawliyah dengan pendekatan historis yang bersumber dari Ayat Kawniyah.
***
Epos Gilgamesy adalah sebuah epos yang didapatkan dalam perpustakaan di Niniveh, milik seorang raja Assyria yang bernama Assurbanipal (669 - 626 seb.M.). Epos itu bertuliskan tulisan paku di atas tanah liat dalam bahasa Akkadia. Di dalam Epos Gilgamesy itu diceritakan pengalaman Utnapisytim yang mirip dengan pengalaman Nabi Nuh AS, seperti yang dikisahkan dalam Tawrah (Pentateuch, The Books of Moses) dan Al Quran. Yaitu tentang bagaimana Utnapisytim diberitahu oleh dewa-dewa tentang akan datangnya banjir. Tentang bagaimana dewa-dewa menyuruh Utnapisytim membuat perahu untuk menyelamatkan keluarga dan binatang ternaknya. Tentang burung merpati yang dilepaskan dan tentang mendaratnya perahu Utnapisytim di sebuah gunung ketika air bah telah surut.
Dengan metode pendekatan historis para pakar yang atheist, agnostik, dan deist akan menjelaskan dengan sederhana tentang kontak budaya bangsa Assyria, Sumaria yang berkebudayaan tulisan paku dengan bangsa Mesir Kuno yang berkebudayaan tulisan ideogram yang disebut hieroglyph. Kontak budaya itu terjadi terutama oleh karena Mesir Kuno takluk atau menjadi bagian dari Kerajaan Assyria. Bahkan walaupun Mesir Kuno memakai tulisan hieroglyph, juga mempergunakan tulisan paku. Bahwa kebudayaan Mesir Kuno juga mempergunakan tulisan paku ini dapat dilihat dari penggalian arkheologis di situs Tell-el-Amarna pada tahun 1894 . Di situ didapatkan alwah (keping-keping atau tablet) tanah liat bertuliskan tulisan paku yang dikenal dalam sejarah sebagai Alwah Tell-el-Amarna, atau Dokumen Amarna. Sesungguhnya penemu awal dari alwah bertulisan paku itu bukanlah seorang pakar arkeologi, bukan pula oleh pakar sejarah, melainkan seorang perempuan petani Mesir. Di situs itu didapatkan sekitar 300 alwah Dokumen Amarna, yaitu sejumlah arsip surat-menyurat diplomatik antara Fir'aun dengan kerajaan-kerajaan Asyiria, Babylonia, Anatolia, Palestina dan Syria. Patut dicatat, yang tak kurang menariknya pula seperti Epos Gilgamesy, ialah di antara Dokumen Amarna itu terdapat Nyanyi Pujian Fir'aun Akhenaton yang mirip-mirip dengan Mazmur 104:24-27 dari Nabi Daud AS. Insya Allah hal ini akan dibahas dalam kesempatan yang lain.
Dari kontak budaya tersebut para pakar yang atheist, yang agnostik dan yang deist berkesimpulan bahwa penulis Pentateuch yang hidup lebih kemudian dari Epos Gilgamesy, mendengar epos tersebut dari cerita-cerita rakyat lalu dituliskannya dan menjadi bagian dari Pentateuch. Demikian pula penulis Al Quran mendengar cerita air bah itu dari para pendeta Yahudi, lalu dimasukkannya pula dalam Al Quran, demikian menurut kesimpulan para atheist, agnostik dan deist itu.
***
Akan tetapi jika ilmu pengetahuan itu sudah di-Islamkan, artinya Ilmu Pengetahuan itu berlandaskan Tawhid, maka dalam hal Qissah Nabi Nuh AS dan Epos Gilgamesy ini cara pendekatannya ada dua.
Pertama, metode pendekatan kombinasi non-historis dan historis dipergunakan dalam menganalisis proses penulisan Epos Gilgamesy bertulisan paku di atas tanah liat itu. Cerita air bah diteruskan dari mulut ke mulut mulai dari keluarga Nabi Nuh AS yang ikut berlayar bersama Nabi Nuh AS di atas perahu. Demikianlah secara turun-temurun dari ayah ke anak, ke cucu, ke cicit dan seterusnya hingga pada zaman Kerajaan Assyria. Orang Akkadia yang dilatarbelakangi oleh agama polytheist, penyembah dewa-dewa menuliskan cerita yang turun-temurun itu di atas tanah liat dengan tulisan paku. Karena dilatarbelakangi dengan budaya menyembah dewa-dewa itulah, maka Allah Yang memberitahu akan datangnya banjir berubah menjadi dewa-dewa yang memberitahu akan datangnya banjir.
Kedua, pendekatan non-historis dipakai mengenai adanya cerita air bah itu dalam Tawrah dan Al Quran. Nabi Musa AS mengetahui cerita air bah itu bukan dari cerita turun-temurun melainkan langsung mendapatkan informasi dari Sumber Informasi, yaitu Allah SWT dengan perantaraan wahyu. Demikian pula Nabi Muhammad SAW mengetahui peristiwa air bah itu bukan dari pendeta Yahudi melainkan dari Sumber Yang Satu, yaitu Allah SWA melalui wahyu. Nahnu Naqushshu 'alayka Ahsana lQashashi bima- Awhayna- ilayka Ha-dza lQura-na wa in Kunta min qablihi lamina lGha-filiyna (S.Yusuf,3). Kuceritakan kepadamu (hai Muhammad) qissah-qissah yang terbaik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya sebelumnya (engkau mendapatkan wahyu itu) engkau belum mengetahuinya (12:3).
Demikianlah dari penyajian di atas itu makin jelaslah bahwa ilmu pengetahuan itu tidak mungkin otonom, tidak mungkin polos, tidak mungkin tidak memihak, tidak mungkin tanpa nilai. Sebab yang dimaksud selama ini dengan otonom, tanpa nilai, adalah pemihakan kepada para atheist, agnostik dan deist yang bergabung dalam filsafat positivisme. Artinya pernyataan yang membiuskan para pakar yang beragama Islam tentang polosnya ilmu pengetahuan itu adalah pernyataan yang palsu.
Coba bayangkan, betapa parah akibatnya jika seorang pakar Muslim yang taat asas pada pernyataan otonomi ilmu pengetahuan itu lalu hanya mengadakan pendekatan historis saja terhadap Epos Gilgamesy, memasukkan agama ke dalam disiplin ilmu-ilmu kebudayaan, berarti ia mengingkari wahyu, yang berarti pula menolak AlQuran itu sebagai kumpulan wahyu yang akhirnya berarti mengingkari kenabian RasuluLlah SAW, maka murtadlah ia demi taat asas kepada ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat positivisme itu. Na'uwdzu bi Lla-hi min dzalik. WaLlahu a'lamu bishshawab.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar