Oleh: Emral Djamal Dt Rajo Mudo
Mandeh Rubiyah, Mande Rabiyah, atau Mande Rubiah, hanya penulisan dan penyebutannya saja yang berbeda pada hal maksudnya sama. Untuk selanjutnya dipakai saja nama Mande Rubiah. Dalam perjalanan riwayatnya, baik yang terdapat dalam kisah-kisah kaba atau hikayat, maupun yang hidup ditengah-tengah masyarakat tradisi, khususnya di kalangan masyarakat tradisi pesisir pantai Sumatera Barat Mande Rubiah, adalah gelar kehormatan yang cukup terpandang untuk seorang wanita seperti juga gelar Bundo Kandung bagi seorang raja atau pemimpin wanita di Minangkabau pada masa dahulu.
Berita tentang Mande Rubiah buat pertama kalinya mencuat ke permukaan dari sebuah artikel surat kabar Sinar Harapan terbitan tanggal 3 November 1979 yang memuat tulisan Wall Paragoan dengan judul : “Bundo Kanduang Terakhir Masih Hidup Bergelar Mande Rubiah”. Sejak itu berbagai komentar dan tulisan tentang Bundo Kanduang dan Mande Rubiah, menjadi pembicaraan hangat dan negeri Lunang Indrapura menjadi perhatian masyarakat. Tak ketinggalan juga dari kalangan Perguruan Tinggi, pemerhati sejarah dan budaya Minangkabau, baik yang ada di daerah mau pun dari luar daerah Sumatera Barat, bahkan penulis asing dari luar negeri.
Rumah Gadang Mande Rubiah (sumber Foto:minagforum.com |
Namun sampai hari ini, masih simpang siurnya pendapat betulkah Bundo Kanduang itu bersemayam di Lunang, betulkah Bundo Kandung itu tokoh pelarian dari Pagaruyung ? Siapakah “Bundo Kandung” dan betulkah pada masa tuanya berganti nama dengan Mande Rubiah ? Para penafsir sejarah Alam Minangkabau sekarang, malah menafsirkan jauh dari pada itu, menganggap bahwa Puti Indojalito adalah Bundo Kanduang (versi Intano Basa), Dara Jingga ibu Aditiya warman adalah Bundo Kandung (versi Balai Janggo) dan Mande Rubiyah adalah Bundo Kandung ( versi Lunang Pessel), turunan Puti dari Alam Surambi Sungai Pagu juga adalah Bundo Kandung (tapi versi ini dapat dibedakan dengan kalimat “nan naiek ateh jambangan” di Su ngai Pagu).
Sementara Bundo Kanduang yang disebut dalam Kaba Cindua Mato, atau dalam Tambo Tambo Minangkabau sebenarnya hanya seorang saja, yakni seorang perempuan yang bernama panggilan “Puti Panjang Rambut” (II). Tidak diketahui nama aslinya. Itupun berasal dari nama Mande Tuo sang putri ini, untuk menghormati kakak kandung ibunya bernama Putri Panjang Rambut (I) .
Agaknya pertanyaan tentang 3 versi ini, saat ini masih relevan untuk ditelusuri kebenarannya. Kehadiran Bundo Kanduang di Lunang Kabupaten Pesisir Selatan, yang dikatakan sejak berabad abad yang lalu, sampai hari ini tetap merupakan misteri sejarah yang belum terpecahkan di Pesisir Selatan. Sementara Istano Basa di Pagaruyung Tanah Datar mengklaim bahwa Bundo Kandung itu adalah Puti Indo jalito. Versi lain menganggap bahwa Bundo Kandung itu adalah Dara Jingga ibu dari Aditiyawarman dari Darmasraya.
Siapakah Bundo Kanduang ?
Siapakah Mande Rubiyah ?
----bersambung-- Tulisan sebelumnya klik disini
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar