Oleh: Emral Djamal Dt Rajo Mudo
Putri Panjang Rambut, menjadi Maharaja Putri, Yang Dipertuan Daulat Raja Alam Minangkabau ditengah-tengah kesangsian banyak orang-orang istana, Basa Ampek Balai, pembesar-pembesar adat, para penghulu dan masyarakat banyak atas kemampuannya mengurus kerajaan yang demikian besar. Ia menaiki tahta menggantikan ayahan danya Yang Dipertuan Daulat Maharaja Sakti. Sampai akhir hayat ke dua orang tuanya Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti (naik nobat tahun 1407 M) yang kemudian disusul dengan meninggalnya ibu kandungnya bernama Puti Silindung Bulan, yang ketika itu sang Putri Panjang Rambut (II) masih seorang gadis perawan yang belum bersuami.
Sebenarnya, untuk menggantikan ayahnya yang telah mangkat, Majelis Kerapatan Balai Panjang memutuskan Dewang Pati Rajo wano gelar Sultan Maharajo Hakikat untuk menaiki tahta kerajaan. Maharaja Hakikat adalah putra dari Dewang Bonang Sutowano yang pergi ke Gresik, adik kandung Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maha raja Sakti.
Sang Putri Panjang Rambut (II) menyetujui Maharaja Hakikat menaiki tahta tetapi menolak untuk menjadi Raja Putri mendampingi Maharaja Hakikat sebagai Permaisurinya. Putri Panjang Rambut yang tinggal di Istano Silindung Bulan Ulak Tanjung Bungo mempersilakan Maharajo Hakikat untuk mendiami Istano Basa Malayu Kampung Dalam di Gudam. Sementara itu adik sang putri Raja Bagindo tidak mau naik takhta karena ingin tetap menjadi Raja Muda Ranah Sekelawi, di Rejang Lebong.
Namun ketika penobatan berlangsung, justru Maharaja Hakikat mengambil mahkota dan menjunjungkannya ke kepala sang Putri, yang membuat gempar seluruh isi istana. Tak seorangpun pembesar merasa yakin sang putri akan mampu menjunjung “mahkota keramat” yang tak bisa sembarang orang menjunjungnya, apalagi nanti untuk bisa mengendalikan pemerintahan di Alam Minangkabau yang masih menjadi Pusat Jalo Pumpuan Ikan Pulau Paco, Pulau Emas yang berkedudukan di Pagaruyung. Dalam diamuk kebimbangan akhirnya mereka menerima penobatan itu dan menyatakan kesetiaan kepada sang putri.
Yang membuat gempar lagi adalah, perkawinannya kemudian dengan Hyang Indojati dari Bukik Si Guntang-guntang Merapi, yakni dari Sumanik, yang di dalam Tambo dipaparkan sebagai orang keramat lagi sakti (dinasty Makhudum). Di dalam Kaba Cindua Mato, dikiaskan bahwa seorang Bujang Selamat memetikkan buah kelapa nyiur gading untuk Puti Tuo dengan sarat disediakannya Kain Cendai Panjang Dua Belas Depa untuk memanjat pohon kelapa ter sebut. (Ada sementara kalangan dari akademisi menafsirkan peristiwa memanjat kelapa nyiur gading ini sebagai sebuah skandal, baca dalam Himpunan Prasaran dan kertas kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau I, Agustus 1970 Terbitan Pemerintah Kotamadya Padang
Kiasan ini bermakna bahwa Bundo Kanduang sebenarnya berguru dengan seorang Bujanggo Salam (Pujangga Islam) dan banyak mendapat bimbingan mendalami nilai-nilai ajaran adat dan syarak dengan gurunya Tuan Hyang Indojati, seorang turunan Mangkhudum Sakti dari Sumanik.. Secara pribadi mendapat bimbingan keilmuan untuk meningkatkan wawasan dan kualitas dirinya.
Pada zaman itu “buah kelapa” juga dipakai sebagai symbol tradisi yang melambangkan tingkatan ilmu yang berlapis. Pada salah satu pelepah daunnya biasanya terdapat satu dua helai daun yang selalu bergetar tegak lurus ke atas. Itulah sebabnya berbagai “binatang berbisa” datang ke pohon kelapa itu sebagai penghuni untuk menjaga buahnya yang istimewa. Karena keistimewaan “buah” nya itu, tidak sembarang orang bisa memetiknya. Turunan pohon kelapa itu sampai sekarang masih dipercaya berkhasiat untuk penyembuhan berbagai penyakit.
Tuan Hiyang Indojati secara resmi, statusnya adalah seorang penata ahli pemerintahan, dan bertugas sebagai Kepala Rumah Tangga Pemerintahan Kerajaan di Pagaruyung, seorang guru dan cendekiawan dengan gelar Anggun Cindai Nan Curawan. Beliau ber tugas mencurai paparkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugas kerajaan, system pemerintahan, system upacara yang berlaku dan diberlakukan sepanjang adat, dan lain-lainnya. Beliau ini telah beristri dengan seorang perempuan bernama panggilan Upik Atani dari Lubuk Atan Pariangan.
Upik Atani adalah seorang wanita ahli yang memimpin dan mengurus seluruh keperluan rumah tangga kerajaan dan perangkat pemerintahan di Kerajaan. Kelak dalam Kaba Cindua Mato dikenal dengan gelar Kambang Bandohari, dengan jabatan Pangulu Pucuk Karajo di Istana. Kedua suami istri ini adalah pejabat tinggi utama dalam kerajaan yang menanggung berat ringannya tugas-tugas orang besar istana, barangkali semacam Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Rumah Tangga Pemerintahan di istana (bukan pembantu dalam pengertian budak istana !).
Putri Panjang Rambut (II) dengan tegas menyatakan keinginannya untuk nikah dengan Hyang Indojati, walaupun itu sebagai istri kedua. Pagaruyung gempar, dengan berbagai isu suka atau tidak suka, akhirnya terpaksa menerima kenyataan. Seorang Raja Putri Penjun jung Mahkota harus dinikahkan secara sederhana dalam lingkungan istana, tidak seperti biasanya perkawinan seorang Putri Raja sekaligus Raja Putri yang seharusnya dilaksanakan dengan acara meriah Alek Gadang.
Sang Putri tidak gusar tentang itu, hatinya teguh imannya mantap, pilihannya tetap. Seluruh fitnah yang datang kepadanya di hadapinya dengan sabar dan tenang. Peristiwa tersebut diungkapkan dalam Tambo Salasilah Rajo-Rajo Minangkabau di Gudam - Pagaruyung, dalam bentuk untaian syair-syair yang indah, seperti kutipan berikut :
“………..……………….
Kan iyo Tuanku Rajo Puti
kawin jo Tuan Hyang Indojati
gego manggulempa mahligai puri
gegolah urang di nagari
Pagaruyuang taguncang-guncang
Ulak Tanjuang Bungo raso kasumbiang
maliek kampuang tagak tahereang
alamaik ka karam istano gadang
Indak disangko lah tasuo
indak dikiro lah datang inyo
jikok padusi manjadi rajo
suruhan istano jadi lakinyo
Bak anak panah kato nan dating
barami rami kato malayang
Rajo Parampuan indaklah gamang
taguah hatinyo taraso di batang
Dek lamo lambek bakalamoan
di dalam liang mancik maharam
kato banyalo lah hilang padam
topan babaliek ka lawitan.
…………….. dst.
Dari perkawinan ini lahirlah Dewang Pandan Salasiah Banang Raiwano, yang kelak dikenal dengan nama panggilan Dang Tuanku, Syah Alam. Dan dari Upik Atani gelar Si Kambang Bandohari melahirkan Dewang Cando Ramowano, yang kemudian populer dengan nama Cindua Mato, diangkat anak oleh Putri Panjang Rambut. Putri Panjang Rambut tidak membedakan kedua anaknya, dengan kasih sayang diasuh dan dididiknya sampai besar. Tidak saja sekedar di dikan dan bimbingan seorang ibu kepada anak-anaknya, tetapi juga dibekali dengan berbagai pengetahuan keterampilan, kependekaran, kepemimpinan, pengetahuan social lainnya, tetapi juga pengetahuan agama Islam untuk pembinaan iman dan takwa putra-putranya tercinta.
Di masa kekuasaannya pula percaturan politik banyak terjadi, yang berlanjut dengan berbagai pertentangan. Dimulai dari kalangan pejabat pembesar istana yang diberhentikannya, kemudian digantikan oleh yang muda-muda, sampai kepada bajak laut Cina yang dulu di pimpin oleh Liang Tau Ming dan Ch’en Tsu Yi menyusup dan mem baur ke tengah masyarakat di Ulu Rawas, merebut kawasan itu. Dan memuncak ketika pemimpinnya yang bernama Rio Depati dengan anaknya Rio Agung Muda, melakukan penyerangan besar-besaran ke Pagaruyung, pusat kerajaan Minangkabau. Bersambung -- tulisan sebelumnya klik disini--
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar