Selamat datang para pembaca ke blog politkum.blogspot.com, pada posting inikami penulis ingin menampilkan artikel tentang apa itu korupsi dalam politik, mudah-mudahan berguna untuk anda. Untuk Lebih Jelas Silahkan Simak Yang Apa Kami Tulis
Panggung politik nasional praksis ibarat sebuah kuis. Setelah prahara politik menimpa Partai Demokrat, kini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) keluar sebagai ”pemenang” baru dalam kasus korupsi. Kasus daging impor sapi telah menyeret nama Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS sebelum mengundurkan diri setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi) ke proses hukum.
Partai dengan basis Islam tradisionalis-fundamentalis tersebut secara mengejutkan ternyata juga menjadi bagian dari permainan korupsi yang ”mengasyikkan”. Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa relasi politik tidak selalu bersenandung serasi dengan agama, negara, maupun ideologi tertentu, melainkan dengan gugus kepentingan, policy dan struktur yang acap kali disalahgunakan.
Tulisan ini tidak hendak mengurai pita hitam sekaligus kemacetan politik yang melanda PKS, tetapi lebih pada menggarisbawahi orasi Anis Matta (Presiden baru PKS) yang secara verbal mengungkapkan ada sebuah tirani dan konspirasi besar yang tengah mengancam partainya. Pernyataan Anis Matta tentu paradoksal. Setidaknya jika pernyataan tersebut dihubungkan dengan proses percepatan penegakan hukum di Republik ini.
Jika memang benar sejak awal PKS getol mengumandangkan penegakan hukum secara maksimal, mengapa dalam kasus ini mereka cenderung lempar batu sembunyi tangan? Pernyataan itu menunjukkan PKS sulit mengakui kesalahan diri dan gemar menunjuk orang lain sebagai akar dari masalah yang menimpa partai politik tersebut.
Dalam etika komunikasi politik, pernyataan adanya sebuah konspirasi yang dikemukakan oleh Anis Matat selaku Presiden PKS melambangkan tiga hal. Pertama, pernyataan tersebut berproposisi dominan. Proposisi ini terjadi ketika ada pesan-pesan dominan dan sebaliknya dalam setiap pernyataan tersebut. Pernyataan dominan dilambangkan dengan aksi tobat nasional. Aksi jenis ini akan menjadi spirit penguatan elektabilitas pada aspek internal partai.
Kedua, pernyataan adanya konspirasi dan tirani menjadi satu pesan yang sangat bersifat oposisi biner. Pada mulanya publik merasa senang karena ada proses perbaikan melalui tobat nasional, namun kesenangan tersebut akan buyar tatkala PKS menyalahkan satu bangunan sistem yang sebenarnya secara prosedur tidak ada yang dilangggar oleh KPK. Kemungkinan besar pernyataan Anis Matta akan melahirkan ekspektasi negatif dari publik.
Ketiga, pernyataan itu adalah pernyataan yang dinegosiasikan. Pernyataan Anis Matta yang tergambar dengan kalimat ”ada tirani dan konspirasi yang akan menghancurakan partai ini (baca: PKS)” jelas menimbulkan satu spektrum penafsiran yang menimbulkan pertanyaan besar sekaligus membutuhkan jawaban yang tepat terkait siapa yang akan menghancurkan dan mengapa?
Kesan politik yang kemudian muncul adalah usaha perbaikan partai akan nisbi jika PKS tetap kokoh pada kebenaran internal dan tetap percaya diri menyalahkan elemen, lembaga, maupun individu di balik prahara politik PKS. Ini sama dengan menginginkan menjadi taman paling indah dengan merusak keindahan taman orang lain.
Dalam etika politik, jelas ini merupakan pengingkaran terhadap entitas politik yang agung. Selama klaim Anis Matta tidak terbukti keabsahannya, tidak menutup kemungkinan bola salju akan mengelinding membentur citra, bahkan ideologi politik PKS itu sendiri. Keluhuran politik dan etikanya hanya didapat dengan dua hal: memaksimalkan citra baik partai atau terbuka menerima citra baik kompetitor politik yang lain.
Eksklusif Kategoris
Tradisi politik di negeri ini sarat oleh kepentingan yang membuncah. Di tengah kerja minimalis, para politisi masih gemar memasang muka dua. Tersenyum di depan publik, tetapi pengisap hak-hak publik di balik layar. Gugus politik nasional benar-benar mengalami eksodus dari tradisi pemberdayaan menjadi tradisi retorika an sich.
Pernyataan-pernyataan politis tidak lagi bermuara pada nilai-nilai ekskomunikasi politik seperti sepadannya antara pernyataan dan perbuatan, melainkan sarat kebohongan, intrik dan saling menjatuhkan antara lembaga politik yang satu dengan lainnya tanpa rasa ampun. Dalam kasus PKS, tradisi semacam ini sangat mudah terlihat.
Pernyataan adanya arus deras konspirasi senantiasa menjadi warna bagaimana proyeksi politik tidak benar-benar dihadapkan pada desain besar rasionalitas dan objektivitas. Dengan mudah teori konspirasi diembuskan ke permukaan tanpa mempertimbangkan nalar dan logika politik secara lebih rasional. Jika dianalisis lebih jauh istilah konspirasi politik sebenarnya merupakan isu lama.
Hannah Arendt (1948) mengistilahkan konspirasi sebagai pisau kekuasaan untuk membelah bangunan politik lawan. Namun, konspirasi dalam pengertian ini adalah bagaimana strategi tersebut melambangkan secara lebih jelas siapa kompetitor politik tersebut. Paling tidak, konspirasi ini bisa diembuskan jika dalam sebuah negara hanya terdapat dua partai politik.
Di Indonesia, dengan amanat demokrasi yang mengisyaratkan sistem multipartai, teori konspirasi sejatinya tidak serta-merta dengan mudah diembuskan. Klaim semacam itu dimungkinkan akan melahirkan multitafsir terkait siapa kira-kira di antara beberapa partai politik atau lembaga lain yang berniat menghancurkan PKS sebagaimana yang Anis Matta katakan?
Di sini, titik tekan pernyataan Anis Matta terkait konspirasi sangat bersifat eksklusif kategoris. Pernyataan ini tidak memiliki fondasi dan dasar rasionalitas sekaligus panutan yustisial yang jelas. Akibatnya, pernyataan tersebut pada dimensi yang lain hanya menjadi bahan perbincangan bahkan mungkin tertawaan banyak kalangan.
Amat sulit untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sudah mulai terkoyak. Tobat nasional mungkin bisa mengukuhkan kekuatan internal partai, tetapi hal ini tidak untuk kepentingan eksternal, khususnya terkait konstituens (baca: pemilih) yang rasional.
Demi mewujudkan politik luhur, sudah sepantasnya PKS dan juga beberapa partai politik yang tersandung korupsi segera bebenah dengan membangun mentalitas politik yang luhur dan etis. Kini, problem apatisme politik merupakan gejala mutakhir dalam keberbangsaan kita.
Paling tidak, lompatan-lompatan partai politik dalam visi pembangunan, pemberdayaan dan transparansi sebaiknya benar-benar ditumbuhkan menjadi roh dan nafas politik masa depan. Jika tidak, partai politik pada akhirnya hanya menjadi etalase pragmatis dan proyeksi kepentingan yang miskin nilai.
Bila ingin lebih tau lagi contoh contoh yang mungkin bisa menambah pengetahuan para pembaca sekalian silahkan membaca disini
Panggung politik nasional praksis ibarat sebuah kuis. Setelah prahara politik menimpa Partai Demokrat, kini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) keluar sebagai ”pemenang” baru dalam kasus korupsi. Kasus daging impor sapi telah menyeret nama Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS sebelum mengundurkan diri setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi) ke proses hukum.
Partai dengan basis Islam tradisionalis-fundamentalis tersebut secara mengejutkan ternyata juga menjadi bagian dari permainan korupsi yang ”mengasyikkan”. Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa relasi politik tidak selalu bersenandung serasi dengan agama, negara, maupun ideologi tertentu, melainkan dengan gugus kepentingan, policy dan struktur yang acap kali disalahgunakan.
Tulisan ini tidak hendak mengurai pita hitam sekaligus kemacetan politik yang melanda PKS, tetapi lebih pada menggarisbawahi orasi Anis Matta (Presiden baru PKS) yang secara verbal mengungkapkan ada sebuah tirani dan konspirasi besar yang tengah mengancam partainya. Pernyataan Anis Matta tentu paradoksal. Setidaknya jika pernyataan tersebut dihubungkan dengan proses percepatan penegakan hukum di Republik ini.
Jika memang benar sejak awal PKS getol mengumandangkan penegakan hukum secara maksimal, mengapa dalam kasus ini mereka cenderung lempar batu sembunyi tangan? Pernyataan itu menunjukkan PKS sulit mengakui kesalahan diri dan gemar menunjuk orang lain sebagai akar dari masalah yang menimpa partai politik tersebut.
Dalam etika komunikasi politik, pernyataan adanya sebuah konspirasi yang dikemukakan oleh Anis Matat selaku Presiden PKS melambangkan tiga hal. Pertama, pernyataan tersebut berproposisi dominan. Proposisi ini terjadi ketika ada pesan-pesan dominan dan sebaliknya dalam setiap pernyataan tersebut. Pernyataan dominan dilambangkan dengan aksi tobat nasional. Aksi jenis ini akan menjadi spirit penguatan elektabilitas pada aspek internal partai.
Kedua, pernyataan adanya konspirasi dan tirani menjadi satu pesan yang sangat bersifat oposisi biner. Pada mulanya publik merasa senang karena ada proses perbaikan melalui tobat nasional, namun kesenangan tersebut akan buyar tatkala PKS menyalahkan satu bangunan sistem yang sebenarnya secara prosedur tidak ada yang dilangggar oleh KPK. Kemungkinan besar pernyataan Anis Matta akan melahirkan ekspektasi negatif dari publik.
Ketiga, pernyataan itu adalah pernyataan yang dinegosiasikan. Pernyataan Anis Matta yang tergambar dengan kalimat ”ada tirani dan konspirasi yang akan menghancurakan partai ini (baca: PKS)” jelas menimbulkan satu spektrum penafsiran yang menimbulkan pertanyaan besar sekaligus membutuhkan jawaban yang tepat terkait siapa yang akan menghancurkan dan mengapa?
Kesan politik yang kemudian muncul adalah usaha perbaikan partai akan nisbi jika PKS tetap kokoh pada kebenaran internal dan tetap percaya diri menyalahkan elemen, lembaga, maupun individu di balik prahara politik PKS. Ini sama dengan menginginkan menjadi taman paling indah dengan merusak keindahan taman orang lain.
Dalam etika politik, jelas ini merupakan pengingkaran terhadap entitas politik yang agung. Selama klaim Anis Matta tidak terbukti keabsahannya, tidak menutup kemungkinan bola salju akan mengelinding membentur citra, bahkan ideologi politik PKS itu sendiri. Keluhuran politik dan etikanya hanya didapat dengan dua hal: memaksimalkan citra baik partai atau terbuka menerima citra baik kompetitor politik yang lain.
Eksklusif Kategoris
Tradisi politik di negeri ini sarat oleh kepentingan yang membuncah. Di tengah kerja minimalis, para politisi masih gemar memasang muka dua. Tersenyum di depan publik, tetapi pengisap hak-hak publik di balik layar. Gugus politik nasional benar-benar mengalami eksodus dari tradisi pemberdayaan menjadi tradisi retorika an sich.
Pernyataan-pernyataan politis tidak lagi bermuara pada nilai-nilai ekskomunikasi politik seperti sepadannya antara pernyataan dan perbuatan, melainkan sarat kebohongan, intrik dan saling menjatuhkan antara lembaga politik yang satu dengan lainnya tanpa rasa ampun. Dalam kasus PKS, tradisi semacam ini sangat mudah terlihat.
Pernyataan adanya arus deras konspirasi senantiasa menjadi warna bagaimana proyeksi politik tidak benar-benar dihadapkan pada desain besar rasionalitas dan objektivitas. Dengan mudah teori konspirasi diembuskan ke permukaan tanpa mempertimbangkan nalar dan logika politik secara lebih rasional. Jika dianalisis lebih jauh istilah konspirasi politik sebenarnya merupakan isu lama.
Hannah Arendt (1948) mengistilahkan konspirasi sebagai pisau kekuasaan untuk membelah bangunan politik lawan. Namun, konspirasi dalam pengertian ini adalah bagaimana strategi tersebut melambangkan secara lebih jelas siapa kompetitor politik tersebut. Paling tidak, konspirasi ini bisa diembuskan jika dalam sebuah negara hanya terdapat dua partai politik.
Di Indonesia, dengan amanat demokrasi yang mengisyaratkan sistem multipartai, teori konspirasi sejatinya tidak serta-merta dengan mudah diembuskan. Klaim semacam itu dimungkinkan akan melahirkan multitafsir terkait siapa kira-kira di antara beberapa partai politik atau lembaga lain yang berniat menghancurkan PKS sebagaimana yang Anis Matta katakan?
Di sini, titik tekan pernyataan Anis Matta terkait konspirasi sangat bersifat eksklusif kategoris. Pernyataan ini tidak memiliki fondasi dan dasar rasionalitas sekaligus panutan yustisial yang jelas. Akibatnya, pernyataan tersebut pada dimensi yang lain hanya menjadi bahan perbincangan bahkan mungkin tertawaan banyak kalangan.
Amat sulit untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sudah mulai terkoyak. Tobat nasional mungkin bisa mengukuhkan kekuatan internal partai, tetapi hal ini tidak untuk kepentingan eksternal, khususnya terkait konstituens (baca: pemilih) yang rasional.
Demi mewujudkan politik luhur, sudah sepantasnya PKS dan juga beberapa partai politik yang tersandung korupsi segera bebenah dengan membangun mentalitas politik yang luhur dan etis. Kini, problem apatisme politik merupakan gejala mutakhir dalam keberbangsaan kita.
Paling tidak, lompatan-lompatan partai politik dalam visi pembangunan, pemberdayaan dan transparansi sebaiknya benar-benar ditumbuhkan menjadi roh dan nafas politik masa depan. Jika tidak, partai politik pada akhirnya hanya menjadi etalase pragmatis dan proyeksi kepentingan yang miskin nilai.
Bila ingin lebih tau lagi contoh contoh yang mungkin bisa menambah pengetahuan para pembaca sekalian silahkan membaca disini
Blog Ini Didukung Oleh :
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar