“Jaksa enak benar, boleh menyidik tindak pidana ekonomi saja (kasus korupsi,-red). Perkara gorok menggorok dan rampok diserahkan ke polisi,” keluh mantan Awaloedin Djamin dalam sebuah sidang pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), pada akhir 2008.
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memang memberikan kewenangan penyidikan kasus-kasus ekonomi (korupsi) kepada kejaksaan. Jadi untuk perkara jenis ini, penyidikan dan penuntutan dipegang oleh Kejaksaan sekaligus. Sementara, untuk kasus-kasus pidana umum seperti pembunuhan, penipuan dan sebagainya disidik oleh polisi dan kemudian dilimpahkan ke jaksa sebagai penuntut umum.
‘Rebutan’ kewenangan ini rupanya terdengar oleh DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Dimyati Natakusumah mengakui perdebatan ini juga terjadi dalam pembahasan revisi UU Kejaksaan yang sedang dibahas. “Ini masih debatable. Tetap di Kejaksaan atau Kepolisian,” ujar Ketua Panja RUU Kejaksaan ini kepada hukumonline, Selasa (19/4).
Dimyati mengungkapkan perdebatan ini mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan beberapa narasumber. “Ada yang bilang kejaksaan tetap perlu (memiliki kewenangan menyidik,-red), karena bagaimana melaksanakan enuntutan kalau tidak tahu anatomi perkaranya,” sebutnya. Namun, tak sedikit yang meminta agar kewenangan ini diserahkan ke kepolisian yang memang bertugas melakukan penyidikan.
Sejumlah narasumber memang telah dihadirkan oleh Panja RUU Kejaksaan. Mereka, di antaranya, adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, Penasehat Kapolri Chaerul Huda, Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Dihubungi melalui sambungan telepon, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Peradi Hasanuddin Nasution mengaku perdebatan ini tidak mengemuka ketika hadir di Baleg. Namun, ia berpendapat seharusnya kewenangan kasus korupsi diserahkan kepada kepolisian.
“Kalau kita concern kepada penegakan hukum secara fungsional, yakni memperkuat kejaksaan. Seharusnya fungsi mereka harus diperkuat sebagai jaksa penuntut umum. Sedangkan untuk kepolisian, saya cenderung memperkuat dengan mengembalikan fungsi penyidikan oleh kepolisian di seluruh bidang, termasuk kasus korupsi,” jelasnya, Kamis (21/4).
Hasanuddin menuturkan bila ingin konsisten kepada fungsi kelembagaan penegak hukum maka jaksa dan polisi harus profesional terhadap tugasnya masing-masing. Berdasarkan KUHAP, kewenangan jaksa jelas melakukan penuntutan sedangkan kepolisian berwenang melakukan penyidikan.
Diberikannya kewenangan penyidikan kasus korupsi ke kepolisian, lanjut Hasanuddin, memang bukan tanpa kendala. Kelak, mungkin ia akan melihat adanya bolak-balik berkas perkara dari kepolisian di tingkat penyidikan dan kejaksaan di tingkat penuntutan. Ini kerap terjadi dalam kasus-kasus tindak pidana yang disidik oleh Kepolisian. “Kendalanya pasti ada. Masalahnya, kita mau memperkuat aparatur penegak hukum secara kelembaga dan profesionalitas atau ngga?” tuturnya.
Konsisten
Berdasarkan catatan hukumonline, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus persoalan ini dalam pengujian UU Kejaksaan. Kala itu, dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentuk UU berlaku konsisten untuk memberikan kewenangan penyidikan kasus korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan.
“Apabila pilihan pembentuk UU menetapkan Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, maka seyogianya Kepolisian ditentukan tidak lagi berwenang. Sebaliknya, apabila wewenang penyidikan memang sepenuhnya akan diberikan kepada Kepolisian, maka jaksa hanya berwenang melakukan penunututan,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu.
RM Panggabean, Kabid Penerapan Hukum dan UU dalam Divisi Pembinaan Hukum Polri kala itu, memang menuturkan bahwa masih ada beberapa kasus korupsi yang bisa disidak oleh polisi, walau jumlahnya sangat kecil. Namun, tindakan penyidikan pidana khusus oleh kepolisian ini selalu mentok di Kejaksaan. “Seakan ada sentimen dari penuntut umum kepada Kepolisian,” ujarnya.
Mahkamah, masih dalam pertimbangannya, juga menyarankan agar pembentuk UU segera merevisi peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk KUHAP, UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. ‘Bola panas’ itu pun saat ini sedang bergelinding di DPR. Kita tunggu saja, bagaimana kelanjutannya. ( hukumonline.com )
‘Rebutan’ kewenangan ini rupanya terdengar oleh DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Dimyati Natakusumah mengakui perdebatan ini juga terjadi dalam pembahasan revisi UU Kejaksaan yang sedang dibahas. “Ini masih debatable. Tetap di Kejaksaan atau Kepolisian,” ujar Ketua Panja RUU Kejaksaan ini kepada hukumonline, Selasa (19/4).
Dimyati mengungkapkan perdebatan ini mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan beberapa narasumber. “Ada yang bilang kejaksaan tetap perlu (memiliki kewenangan menyidik,-red), karena bagaimana melaksanakan enuntutan kalau tidak tahu anatomi perkaranya,” sebutnya. Namun, tak sedikit yang meminta agar kewenangan ini diserahkan ke kepolisian yang memang bertugas melakukan penyidikan.
Sejumlah narasumber memang telah dihadirkan oleh Panja RUU Kejaksaan. Mereka, di antaranya, adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, Penasehat Kapolri Chaerul Huda, Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Dihubungi melalui sambungan telepon, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Peradi Hasanuddin Nasution mengaku perdebatan ini tidak mengemuka ketika hadir di Baleg. Namun, ia berpendapat seharusnya kewenangan kasus korupsi diserahkan kepada kepolisian.
“Kalau kita concern kepada penegakan hukum secara fungsional, yakni memperkuat kejaksaan. Seharusnya fungsi mereka harus diperkuat sebagai jaksa penuntut umum. Sedangkan untuk kepolisian, saya cenderung memperkuat dengan mengembalikan fungsi penyidikan oleh kepolisian di seluruh bidang, termasuk kasus korupsi,” jelasnya, Kamis (21/4).
Hasanuddin menuturkan bila ingin konsisten kepada fungsi kelembagaan penegak hukum maka jaksa dan polisi harus profesional terhadap tugasnya masing-masing. Berdasarkan KUHAP, kewenangan jaksa jelas melakukan penuntutan sedangkan kepolisian berwenang melakukan penyidikan.
Diberikannya kewenangan penyidikan kasus korupsi ke kepolisian, lanjut Hasanuddin, memang bukan tanpa kendala. Kelak, mungkin ia akan melihat adanya bolak-balik berkas perkara dari kepolisian di tingkat penyidikan dan kejaksaan di tingkat penuntutan. Ini kerap terjadi dalam kasus-kasus tindak pidana yang disidik oleh Kepolisian. “Kendalanya pasti ada. Masalahnya, kita mau memperkuat aparatur penegak hukum secara kelembaga dan profesionalitas atau ngga?” tuturnya.
Konsisten
Berdasarkan catatan hukumonline, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus persoalan ini dalam pengujian UU Kejaksaan. Kala itu, dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentuk UU berlaku konsisten untuk memberikan kewenangan penyidikan kasus korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan.
“Apabila pilihan pembentuk UU menetapkan Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, maka seyogianya Kepolisian ditentukan tidak lagi berwenang. Sebaliknya, apabila wewenang penyidikan memang sepenuhnya akan diberikan kepada Kepolisian, maka jaksa hanya berwenang melakukan penunututan,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu.
RM Panggabean, Kabid Penerapan Hukum dan UU dalam Divisi Pembinaan Hukum Polri kala itu, memang menuturkan bahwa masih ada beberapa kasus korupsi yang bisa disidak oleh polisi, walau jumlahnya sangat kecil. Namun, tindakan penyidikan pidana khusus oleh kepolisian ini selalu mentok di Kejaksaan. “Seakan ada sentimen dari penuntut umum kepada Kepolisian,” ujarnya.
Mahkamah, masih dalam pertimbangannya, juga menyarankan agar pembentuk UU segera merevisi peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk KUHAP, UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. ‘Bola panas’ itu pun saat ini sedang bergelinding di DPR. Kita tunggu saja, bagaimana kelanjutannya. ( hukumonline.com )
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar