Upaya advokat senior Frans Hendra Winata menguji aturan wadah tunggal organisasi advokat dalam UU No 18 Tahun 2003 tidak main-main. Pasca mendaftarkan judicial review Pasal 28 UU Advokat itu, Ketua Umum Badan Pekerja Pengurus (BPP) Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ini menyambangi Komnas HAM.
Tujuannya, beraudiensi dan meminta kesediaan para Komisioner Komnas HAM memberikan keterangannya di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) kelak. “Kami membicarakan kemungkinan itu dengan Ketua Komnas HAM,” ujar Frans kepada hukumonline usai beraudiensi di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Jumat (5/11).
Dalam diskusi yang berlangsung sangat santai, Frans mengutarakan banyaknya ketentuan HAM yang dilanggar dengan berlakunya Pasal 28 UU Advokat dan Surat Edaran MA yang hanya mengakui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat.
“Kami melihat adanya pelanggaran hak berserikat dan berkumpul, hak memperoleh pekerjaan dan hak kesamaan di hadapan hukum,” jelas Frans lagi.
Sekedar mengingatkan, Frans memang telah memasukan permohonan judicial review Pasal 28 UU Advokat yang menyatakan hanya boleh ada satu wadah tunggal advokat di Indonesia. Mahkamah Agung (MA) –melalui SEMA No 089 Tahun 2010- hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat.
MA berdalih pengakuan tersebut hasil kesepakatan antara pimpinan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan pimpinan Peradi beberapa waktu lalu. Namun belakangan, KAI dan Peradin -yang juga mengklaim sebagai wadah tunggal- keberatan dengan ‘pengakuan’ itu.
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengaku akan mempelajari apa yang telah disampaikan oleh pengurus Peradin itu. “Kami akan mendalami, kalau memang (argumennya) kuat maka kami akan menjadi saksi atau ahli di Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkapnya. Meski begitu, ia mengakui adanya pembatasan-pembatasan HAM terkait isu tersebut.
Salah satunya adalah right to counsel atau hak pencari keadilan untuk menunjuk kuasa hukumnya secara bebas. Dengan adanya keharusan advokat yang boleh beracara adalah advokat dari Peradi, menurutnya memang ada pembatasan hak asasi. “Saya belum melihat adanya pelanggaran HAM,” ujarnya.
Selain itu, Ifdhal juga menyayangkan campur tangan Ketua MA dalam konflik organisasi advokat ini. “Berdasarkan Bangalore Principle (kode etik hakim sedunia,-red) hakim seharusnya tak boleh mencampuri dan berpihak dalam persoalan ini,” jelasnya lagi.
Sebelumnya, Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan menegaskan Pasal 28 UU Advokat tak membatasi para advokat untuk berserikat. “Tidak. Tidak membatasi kok. Silahkan saja membuat organisasi apapun, sebanyak apapun. Contohnya sekarang masih ada Ikadin, AAI, HKHPM dll. Tapi yang menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai wadah advokat sesuai UU Advokat, ya cuma satu, yaitu Peradi,” jelasnya.
Otto juga mengingatkan bila Pasal 28 UU Advokat itu sudah pernah diuji di MK. Dan putusannya ditolak oleh para hakim konstitusi. “Seharusnya tak bisa diajukan lagi,” tambahnya.
Wakil Sekjen Peradin –kubu Frans Hendra- Firman Wijaya menyambut baik bila ada pihak-pihak yang ingin melakukan intervensi dalam permohonan uji materi itu. “Saya sangat senang. Biar kita bisa berdiskusi secara sehat. Tapi, diskusinya seharusnya yang menyentuh substansi masalah. Bukan justru hanya mempersoalkan syarat formalitas seperti nebis in idem atau tidak,” tukasnya.
Upaya beraudiensi dengan pimpinan lembaga atau komisi negara ini ternyata tak hanya dilakukan oleh Peradin kubu Frans Hendra. Sebelumnya, kubu Peradin yang diketuai oleh Ropaun Rambe juga telah menyambangi Komisi Yudisial (KY) seputar kisruh organisasi advokat ini.
“Demonstrasi Peradin ke KY dengan cara intelektual diterima oleh Komisioner Prof Mustafa Abdullah dan Soekotjo (Soeparto). Hasilnya akan dibahas segera oleh Pleno KY untuk ditindaklanjuti,” demikian isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Ropaun Rambe kepada hukumonline.
Sumber : Hukumonline.com
Dalam diskusi yang berlangsung sangat santai, Frans mengutarakan banyaknya ketentuan HAM yang dilanggar dengan berlakunya Pasal 28 UU Advokat dan Surat Edaran MA yang hanya mengakui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat.
“Kami melihat adanya pelanggaran hak berserikat dan berkumpul, hak memperoleh pekerjaan dan hak kesamaan di hadapan hukum,” jelas Frans lagi.
Sekedar mengingatkan, Frans memang telah memasukan permohonan judicial review Pasal 28 UU Advokat yang menyatakan hanya boleh ada satu wadah tunggal advokat di Indonesia. Mahkamah Agung (MA) –melalui SEMA No 089 Tahun 2010- hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat.
MA berdalih pengakuan tersebut hasil kesepakatan antara pimpinan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan pimpinan Peradi beberapa waktu lalu. Namun belakangan, KAI dan Peradin -yang juga mengklaim sebagai wadah tunggal- keberatan dengan ‘pengakuan’ itu.
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengaku akan mempelajari apa yang telah disampaikan oleh pengurus Peradin itu. “Kami akan mendalami, kalau memang (argumennya) kuat maka kami akan menjadi saksi atau ahli di Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkapnya. Meski begitu, ia mengakui adanya pembatasan-pembatasan HAM terkait isu tersebut.
Salah satunya adalah right to counsel atau hak pencari keadilan untuk menunjuk kuasa hukumnya secara bebas. Dengan adanya keharusan advokat yang boleh beracara adalah advokat dari Peradi, menurutnya memang ada pembatasan hak asasi. “Saya belum melihat adanya pelanggaran HAM,” ujarnya.
Selain itu, Ifdhal juga menyayangkan campur tangan Ketua MA dalam konflik organisasi advokat ini. “Berdasarkan Bangalore Principle (kode etik hakim sedunia,-red) hakim seharusnya tak boleh mencampuri dan berpihak dalam persoalan ini,” jelasnya lagi.
Sebelumnya, Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan menegaskan Pasal 28 UU Advokat tak membatasi para advokat untuk berserikat. “Tidak. Tidak membatasi kok. Silahkan saja membuat organisasi apapun, sebanyak apapun. Contohnya sekarang masih ada Ikadin, AAI, HKHPM dll. Tapi yang menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai wadah advokat sesuai UU Advokat, ya cuma satu, yaitu Peradi,” jelasnya.
Otto juga mengingatkan bila Pasal 28 UU Advokat itu sudah pernah diuji di MK. Dan putusannya ditolak oleh para hakim konstitusi. “Seharusnya tak bisa diajukan lagi,” tambahnya.
Wakil Sekjen Peradin –kubu Frans Hendra- Firman Wijaya menyambut baik bila ada pihak-pihak yang ingin melakukan intervensi dalam permohonan uji materi itu. “Saya sangat senang. Biar kita bisa berdiskusi secara sehat. Tapi, diskusinya seharusnya yang menyentuh substansi masalah. Bukan justru hanya mempersoalkan syarat formalitas seperti nebis in idem atau tidak,” tukasnya.
Upaya beraudiensi dengan pimpinan lembaga atau komisi negara ini ternyata tak hanya dilakukan oleh Peradin kubu Frans Hendra. Sebelumnya, kubu Peradin yang diketuai oleh Ropaun Rambe juga telah menyambangi Komisi Yudisial (KY) seputar kisruh organisasi advokat ini.
“Demonstrasi Peradin ke KY dengan cara intelektual diterima oleh Komisioner Prof Mustafa Abdullah dan Soekotjo (Soeparto). Hasilnya akan dibahas segera oleh Pleno KY untuk ditindaklanjuti,” demikian isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Ropaun Rambe kepada hukumonline.
Sumber : Hukumonline.com
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar