PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PIDANA ANGLO SAXON DAN SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Oleh:Achmad Sodik Sudrajat, S.H., M.H.
1 A. Pendahuluan
Hukum mempunyai sistem pada asas-asas yang dikemukakan dan dikembangkan secara terperinci dengan perantara tulisan para ahli hukum, putusan pengadilan dan himpunan hukum dalam suatu undang-undang. Kegunaan hukum dalam kejadian konkrit tidak hanya bersandar kepada ketentuan hukum dalam undang-undang saja, karena undang-undang tidak hanya memuat kaidah terperinci untuk peristiwa apa yang akan terjadi, melainkan ia juga bersandar juga pada premise umum untuk dasar pemikiran tentang apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya menurut hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum.
Sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan hukum, tetapi setiap peraturan itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta tidak boleh terjadi konflik. Sistem hukum di Indonesia seperti halnya dalam sistem hukum positif lainnya terdiri atas subsistem pidana, subsistem hukum perdata, subsistem hukum administrasi negara. Dengan demikian, subsistem hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Sistem hukum di dunia pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok, yaitu sistem hukum eropa continental dan sistem hukum anglo saxon dimana dari kedua sistem hukum tersebut memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing termasuk dalam subsistem hukum pidananya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan melakukan perbandingan antara karakteristik sistem hukum pidana anglo saxon dengan sistem hukum pidana nasional.
B. Karakteristik Sistem Hukum Anglo Saxon
Sebelum menguraikan tentang bentuk perbandingan dan karakteristik sistem anglo saxon (coman law) terlebih dulu perlu diketahui bahwa sejarah pembentukan hukum di negara-negara eropa sama-sama menghendaki adanya satu hukum nasional atau unifikasi.
Berikut ini akan diuraikan bentuk dan karakteristik dari sistem hukum anglo saxon hukum pidana atau sering dikenal dengan sistem hukum coman law adalah sebagai berikut
1. Sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya bersumber pada :
a. Custom
Merupakan sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari sebagian hukum Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku anglo saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom law akan melahirkan common law dan kemudian digantikan dengan precedent
b. Legislation
Berarti undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang demikian tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu itu undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.
c. Case-Law
Sebagai salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri karakteristik yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim, sehingga dikenal dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan precedent bagi hakim yang akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent sampai sekarang
2. Sebagai konsekuensi dipergunakannya sistem case law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama dari sistem hukum anglo saxon (Inggris) maka tidak sepenuhnya menganut sistem asas legalitas, dan hal tersebut dapat dilihat pada bukti sebagai berikut :
a. Adanya legislation sebagai sumber hukum disampaing custom law dan case law
b. Jika suatu perkara terjadi pertentangan antara case law dan statue law, maka pertama-tama akan dipergunakan case law, sedangkan statute law akan dikesampingkan.
3. Bertitik tolak dari doktrin precedent dimaksud maka kekuasaan hakim di sistem anglo saxon (comman law) sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan salah satu negara yang mengaut sistem ini yaitu Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian haki dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari kekuasaan hakim pada sistem ini sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum comman law (anglo saxon) kurang memperhatikan kepastian hukum.
4. Ajaran kesalahan dalam sistem hukum comman law dikenal dengan Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim “Actus non est reus mens rea” yang berarti suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika pikiran orang itu jahat
5. Dalam sistem hukum anglo saxon atau comman law pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan sikap bathin yang jahat. Namun demikian unsur sikap bathin yang jahat tersebut merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dahulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan. Dalam perkembangan selanjutnya unsur sikap bathin yang jahat tersebut tidak lagi dianggap sebagai syarat yang utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
6. Sistem hukum yang menganut sistem anglo saxon atau comman law tidak mengenal adanya perbedaan kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana halnya di negara-negara yang menganut civil law atau eropa continental. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai hukum positif di negara Indonesia mengenal adanya perbedaan di atas.
7. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara comman law atau anglo saxon pada prinsipnya menganut sistem Acusatoir
C. Karakteristik Sistem Hukum Pidana Nasional
Seperti yang telah diketahui sistem hukum yang dianut di negara Indonesia adalah sistem hukum eropa continental, sehingga ketentuan yang dianutnya pasti menganut kodifikasi, termasuk dalam ketentuan hukum pidananya.
Kodifikasi dan unifikasi hukum pidana di Indonesia dimulai pada tahun 1915, yang setelah merdeka masih tetap untuk diberlakukan melalui ketentuan Peraturan Peraihan UUD untuk terjadinya kekosongan hukum. Selain itu juga KUH Pidana di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum lain, yang salah satunya adalah sistem hukum adat, sehingga ada beberpa ketentuan hukum pidana yang masih harus memperhatikan ketentuan hukum adat.
Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang di dasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan perkataan lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai sebuah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkau nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia[1].
Perlu dijelaskan di sini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui bangsa Indonesia setelah merdeka belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisi sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisme, seperti penggantian nama Kitab Undang-Undag Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi Wetboek van Straafrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari Burgelijk Wetboek dan lain-lain. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru[2].
Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Pada hakikatnya dengan mengenal, menghubungkan dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.
Asas-asas hukum pidana itu dapat digolongkan menjadi:
1. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya
2. Asas yang tidak dirumuskan dalam dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis dan dianut di dalam yuriprudensi
Asas hukum pidana yang dirumuskan dalam perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi tiga golongan:
1. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara itu berlaku;
2. Asas berlakunya hukum pidana menurut waktu, yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana;
3. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang berada di luar wilayah negara
Pembagian tiga asas tersebut menurut tempat (grondgebeid atau ruimtegebeid), menurut waktu (tijdsgebeid) dan menurut orang (personengebeid) yang lazim diikuti berdasarkan atas ajaran pembagian wilayah berlakunya suatu peraturan hukum. Akan tetapi, lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua asas saja, yaitu asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih mudah mengahadapi masalah lain di bidang hukum pidana yang sering dicampuradukan yaitu tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik atau perbuatan pidana. Di dalam literatur Belanda dikenal dasar hukum pidana “werking van de strafwet naar de plaats en tijd” atau toepasselijkkheid van strafwet” yang perlu untuk dipisahkan dengan “plaats en tijd van het strafbaar feit”. Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, yang dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “Nullum Delectum Nulla Poena Sine Prae Vilege”, yang artinya tiada pidana tampa suatu kesalahan.
Ungkapan nullum delictum nulla poena sine prae vilege berasal dari von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana dari Jerman, dialah yang merumuskan dalam pepatah latin yaitu dalam bukunya “Lehrbuch des Peinlinchen dengan teorinya yang terkenal “Von Psycologi Schen Zwang”, yaitu menganjurkan bahwa dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan hanya macam pidana yang diancamkan. Dengan cara ini, orang yang akan melakkan perbuatan yang dilarang tadi telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika ia nanti melakukan perbuatan itu. Dengan demikian, dalam bathinnya, ia mengadakan rem atau tekanan untuk tidak melakukannya. Seandainya dia melakukan perbuatan tadi, hal dijatuhinya pidana kepadanya itu dapat dipandang sebagai hal yang sudah disetujuinya.
Nullum dilectum nulla peona sine prae via lege atau geen straf zonder schuld dalam bahasa latinnya diartika sebagai tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu atau tiada pidana tanpa kesalahan atau dikenal dengan nama asas legalitas, dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bila kita pahami, asas legalitas tersebut mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu undang-undang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dari ketentuan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peristiwa pidana yang bersangkutan harus ditentukan serta dicantumkan dalam undang-undang. Akibat asas nullum dilectum itu, seseorang dapat dihukum apabila ia melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum dan peraturan telah disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi ada kemungkinan seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnnya merupakan kejahatan, tetapi karena tidak disebutkan oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, ia menjadi tidak terhukum.
Selain itu juga dalam sistem hukum pidana nasional, khsusnya mengenai kedudukan hakim diberikan pula kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum atau dengan kata lain hasil penciptaan hukum tersebut sering dikenal dengan yuriprudensi.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat membuat suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada hakikatnya antara sistem hukum cammon law (anglo saxon) dengan sistem hukum pidana nasional memiliki kemiripan,terutama dalam masalah sistem kodifikasi dan unifikasi
2. Pada sistem hukum pidana nasional dipengaruhi oleh sistem dari luar terutama oleh sistem hukum adat
Sumber :
[1] Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997, hlm 87
[2] Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc satu persatu pada hukum kolonial . M.A Jaspan, Mencari Hukum Baru; Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan, dalam Mulayana W Kusumah dan Paul S Baut, Hukum Politik dan Perubahan Sosial, YLBHI, Jakarta, 1988, hlm 250
http://www.stialanbandung.ac.id/cgi-sys/suspendedpage.cgi?option=com_content&view=article&id=451:perbandingan-sistem-hukum-pidana-anglo-saxon-dan-sistem-hukum-pidana-nasional-bagian-pertama&catid=12:artikel&Itemid=85
Home » Perbandingan HUKUM » Perbandingan Sistem Hukum Pidana Anglo Saxon Dan Sistem Hukum Pidana Nasional
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar