Jangan (Lagi) Salah Pilih Caleg

Bookmark and Share
Oleh: Sofyan Harahap

Citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mata publik dari tahun ke tahun semakin merosot. Sampai-sampai Senayan -- tempat para wakil rakyat bertugas-- disimpulkan sebagai sarang koruptor.

Berikut ini hasil sejumlah survei pendukung. Laporan akhir tahun Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2012 menyebutkan terdapat 42,71 persen anggota legislatif masa itu melakukan transaksi mencurigakan dengan indikasi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Dari analisis ditemukan indikasi kuat tindak pidana korupsi anggota DPR terjadi pada periode 2009-2014.

Memilih Caleg DPRD 2014

Hasil survei pun menyebut jabatan anggota DPR periode 2009-2014 terindikasi paling banyak melakukan tindak pidana korupsi dengan persentase 69,7 persen. Sedangkan indikasi korupsi yang dilakukan ketua komisi sebesar 10,4 persen. Kasus korupsi paling akbar melibatkan M. Nazaruddin cs.

Sebaliknya, anggota DPR periode 2009-2004 dinilai merupakan periode bersih. Indikasi tindak pidana korupsi pada masa itu hanya 1,04 persen. Relatif kecil, sehingga patut dipertanyakan mengapa kasus korupsi di DPR bisa berkembang begitu pesat periode ini? Mungkinkah karena ongkos atau biaya menjadi caleg begitu besar? Konon minimal dibutuhkan Rp1 miliar hingga Rp6 miliar untuk sebuah kursi manis di DPR RI.

Survei terakhir yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicare pada 14-24 Mei lalu terhadap 2.192 responden menunjukkan 47 persen responden menyatakan DPR sebagai lembaga terkorup. Mayoritas responden mengatakan anggota DPR sekarang tidak menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.

Menurut koordinator survei Muhammad Dahlan, 62,4 persen responder setuju anggota DPR hanya mencari nafkah di Senayan. Responden juga menganggap lembaga legislatif itu tidak berhasil mewakili masyarakat. DPR dianggap sebagai lembaga yang hanya mewakili orang-orang partai. Hanya 29,1 persen responden merasakan anggota DPR sudah menjalani peran sebagai wakil rakyat.

Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul menganggap wajar DPR disebut dalam sejumlah survei sebagai lembaga paling korup. Kata wakil rakyat dapil Sumut itu banyak otak korupsinya di Banggar. DPR memang seperti itu. Jujur saja, yang namanya Banggar ada otak-otaknya. Di situ tempat korupsi, walaupun tetap ada anggota Banggar yang bersih.

Salah siapa?

Kalau ditanya siapa yang salah sampai DPR menjadi sarang korupsi? Tentu saja jawabnya kompleks. Artinya, banyak pihak harus menyadari kesalahannya dan berkontribusi.

Yang pasti, mereka bisa terpilih menjadi anggota DPR RI di pusat, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota atau di DPD atas pilihan rakyat pada setiap pemilu. Kalau begitu, rakyat punya andil membuat lembaga legislatif menjadi sarang koruptor.

Sebelum menyalahkan rakyat, sebaiknya kita kritik dulu sistem rekrutmen parpol setiap kali pemilu. Hampir semua parpol lemah dalam rekrutmen sehingga muncul banyak calon legislatif (caleg) tidak berkualitas yang masuk lembaga terhormat itu.
Justru itu, parpol menjadi sasaran tembak pertama kalau anggota DPR yang terpilih tidak berkualitas, kalau banyak anggota DPR(D) yang terlibat korupsi, terlibat kasus amoral, menjadi politisi busuk dan koruptor seharusnya parpol yang digugat sebagai pintu masuk.

Sedangkan sasaran tembak kedua tentunya masyarakat atau rakyat yang salah pilih caleg. Kondisi seperti itu bisa terjadi karena masyarakat kurang mendapatkan informasi seputar riwayat hidup atau track record caleg yang dijual parpol. Rakyat tahunya menjelang pemilu marak kampanye, pertemuan-pertemuan, pemasangan billboard, baliho, poster, pamflat leaflet, brosur dll.

Banyak caleg yang memperkenalkan dirinya. Tentu semua yang baik-baik, yang hebat-hebat guna membentuk pencitraan diri. Banyak yang terpengaruh, namun banyak juga yang menganggap semuanya sama saja sarat kepentingan (pragmatis). Saat kampanye semuanya mengaku dekat dengan rakyat, setelah terpilih menutup pintu rumahnya dari masyarakat.

Kondisi kampanye yang terlihat di Indonesia sama sekali tidak mendidik karena pada umumnya foya-foya. Artinya, para caleg menggunakan segala cara, termasuk membeli suara rakyat untuk bisa duduk di lembaga legislatif. Itu sebabnya diperlukan dana besar untuk bisa menjadi caleg, apalagi kalau ingin terpilih. Semakin banyak uang yang ditebar di tengah masyarakat semakin besar kans untuk meraih suara terbanyak.

Justru itu, masyarakatlah yang seharusnya selektif dalam memilih wakil-wakilnya di pusat, provinsi dan kabupaten-kota agar kualitas anggota DPR(D) kita di masa mendatang menjadi berkualitas, mampu menjalankan tugasnya dengan optimal, memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga meningkat pula kesejahteraannya.

Bukan seperti DPR(D) kita sekarang. Lebih banyak hal-hal yang negatif ketimbang yang positif. Fungsi legislasi tidak mampu mereka jalankan dengan baik sehingga banyak produk pembuatan dan pengesahan undang-undang/perda yang terbengkalai. Tapi, kalau program yang terkait dengan uang, seperti studi banding ke luar negeri selalu mereka perjuangkan. Walau mendapat kritik dari masyarakat, mereka tetap terbang menggunakan uang rakyat.

Jangan salah pilih

Pemilu 9 April 2014 sudah semakin dekat. Mayoritas anggota DPR dan DPRD kembali mencalonkan diri, sebagian pindah parpol karena sudah tidak terakomodir di partai lama, sebagian memang sengaja pindah parpol karena melihat peluang menang di partai lama kecil sehingga memerlukan parpol yang lagi naik daun untuk menyelamatkan diri.

Perlu diingatkan munculnya caleg tidak berkualitas bukan kesalahan parpol semata, tapi masyarakat juga memberi kontribusi karena tidak selektif dalam memilih saat pemilu. Bisa karena pengaruh iklan kampanye yang ‘’jor-joran’’ bisa pula karena masuk perangkap sistem money politics atau serangan fajar yang muncul di hari-H pemilu.

Bukan berdasarkan kualitas yang dapat dilihat dari track record-nya selama ini di pemerintahan, masyarakat, organisasi sesuai bidang dan profesinya. Konsekuensinya, masyarakat ikut menjadi bagian dari produksi caleg yang tidak berkualitas karena mereka menjadi korban kampanye dan iming-iming dari parpol dan para calegnya.

Benar parpol merupakan lembaga demokrasi, namun belum tentu memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sebagai institusi demokrasi parpol selayaknya berkualitas, menyeleksi dan membina para calegnya sehingga mutu lembaga terhormat di pusat, provinsi, kabupaten-kota berkualitas.

Di sinilah diperlukan parpol idealis memegang prinsip dan menjalankan visi dan misinya. Jika disebutkan baik-buruknya lembaga legislatif sepenuhnya di tangan parpol, hal itu benar. Sayang, kontrol parpol terhadap anggotanya di DPR(D) sangat lemah. Bahkan terkesan, anggota dewan dari parpol bukan bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara, melainkan memperjuangkan dan perpanjangan kepentingan partainya semata.
Memang tidak mudah menjadi caleg jika persyaratannya dipenuhi. Para calon harus memenuhi 16 kriteria yang ditetapkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, seperti sehat jasmani dan rohani hingga mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Polri, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada BUMN/BUMD jika mencalonkan diri.

Kalau kriteria itu dipenuhi dan dijadikan acuan oleh parpol kita berkeyakinan kualitas DPR(D), termasuk DPD, akan mumpuni alias di atas rata-rata. Tapi, persyaratan yang baik selalu dikalahkan dengan kepentingan pribadi dan golongan sehingga caleg tidak berkualitas yang kadang dipaksakan parpol. Motivasinya untuk menutupi biaya kampanye.

Bisa dipahami kalau kualitas lembaga DPR(D) demikian rendah, dan menjadi sarang korupsi seperti hasil survei, karena terlihat jelas parpol kesulitan membina dan mendapatkan SDM atau caleg berkualitas, baik dari internal partai maupun eksternal. Penilaiannya sangat subyektif, cenderung berapa besar mahar yang mampu diberikan caleg untuk parpol dan pemenangan pemilu.

Oleh karena itu, rakyat atau masyarakat harus cerdas. Jangan (lagi) salah pilih caleg. Pilih yang track recordnya baik. Bukan caleg abal-abal.*** ( Sofyan Harahap : Penulis adalah Wapemred Waspada )


Sumber: www.waspadamedan.com/…..veuw=artikel&id=25972.. diakses 22/6/2013/21.16

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar