Demo menolak RUU Ormas. Foto: SGP
Koalisi organisasi masyarakat sipil mendesak agar DPR tidak mengesahkan RUU Ormas. Walau dalam sidang paripurna Selasa (25/6) lalu pengesahan RUU Ormas ditunda sampai 2 Juli 2013, Koalisi menilai hal tersebut tidak cukup untuk menjamin kebebasan berserikat. Pasalnya, masih terbuka kemungkinan RUU Ormas untuk disahkan.
Seorang anggota Koalisi, Direktur program Imparsial, Al Araf menilai RUU Ormas memiliki paradigma yang secara hukum tidak tepat. Istilah yang digunakan sama seperti kebijakan yang ada di masa pemerintahan orde baru. Yaitu represif dan otoriter karena membungkam kebebasan berserikat. Kebijakan-kebijakan tersebut akan dikukuhkan lewat RUU Ormas.
“Secara prinsip kami minta dihentikan pembahasannya (RUU Ormas,-red) bukan ditunda. Pada saat bersaman pemerintah harus cabut UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan segera membahas RUU Perkumpulan,” katanya dalam jumpa pers di kantor HRWG Jakarta, Kamis (27/6).
Al mengingatkan lebih dari sepuluh tahun reformasi, politik praktis yang terjadi selama ini sifatnya transaksional, sehingga kerap diwarnai kasus korupsi. Oleh karenanya, Al melihat sangat wajar jika terdapat gerakan dari organisasi masyarakat sipil yang kritis mengawasi jalannya roda pemerintahan. Begitu pula dengan serikat pekerja yang kerap melakukan gerakan karena menuntut pemenuhan hak-hak mereka. Namun, Al mengindikasikan pemerintah dan DPR “gerah” atas berbagai gerakan rakyat tersebut. Sehingga dirasa dibutuhkan peraturan yang bisa membatasi kebebasan masyarakat sipil, salah satunya RUU Ormas.
Pada kesempatan yang sama peneliti Imparsial, Erwin Maulana, memantau belakangan ini tujuan dibentuknya RUU Ormas semakin terungkap. Misalnya, dalam acara diskusi yang dihadiri oleh anggota Pansus RUU Ormas, Erwin mendengar ada pernyataan yang dilontarkan bahwa peraturan itu dibuat untuk menjaga agar LSM tidak mengganggu keamanan negara. Dari pernyataan itu Erwin berpendapat bahwa sasaran RUU Ormas bukanlah menindak organisasi yang kerap melakukan tindak kekerasan, tapi membatasi kebebasan berserikat.
Padahal, Erwin menilai semakin besar keaktifan berserikat, maka masyarakat semakin dewasa dalam bernegara karena tahu bagaimana cara menyampaikan aspirasi dengan benar. Yaitu melalui sebuah alat yang dinamakan organisasi atau serikat. Jika pada 2 Juli 2013 RUU Ormas disahkan, bagi Erwin anggota DPR yang mengesahkan layak dikategorikan sebagai orang yang anti kebebasan berserikat. “Tanggal 2 juli 2013 kami bersama serikat pekerja akan melakukan demonstrasi menolak RUU Ormas,” tuturnya.
Sementara anggota koalisi dari Human Rights Working Group (HRWG), Choirul Anam, mengatakan Indonesia terikat pada konvensi Sipol yang sudah diratifikasi sejak 2005. Dalam konvensi internasional itu, salah satu klausulnya secara tegas menjamin kebebasan berserikat. Alih-alih melaksanakan amanat konvensi tersebut, RUU Ormas dirasa memiliki watak dasar represif dan mengebiri kebebasan berserikat.
Sekalipun dilakukan pembatasan terhadap hak berserikat sebagaimana yang termaktub dalam RUU Ormas, Anam menilai ada prosedur dalam konvensi yang harus dipatuhi. Yaitu setiap pembatasan hak berserikat harus dilaporkan kepada komite HAM di PBB. Namun, Anam tidak melihat DPR dan pemerintah menyampaikan laporan tersebut. Selain itu Anam mengatakan pada 11 Juli 2013, Indonesia sebagai negara anggota konvensi Sipol akan dievaluasi di PBB.
Lewat forum internasional itu Indonesia akan dievaluasi sejauh mana konvensi Sipol diimplementasikan. Selaras dengan itu sebagai salah satu upaya penolakan terhadap RUU Ormas, koalisi akan menyampaikan kepada PBB bahwa Indonesia telah merancang peraturan yang mengekang kebebasan berserikat. Yaitu RUU Ormas. Menurutnya, yang menjadi persoalan terkait ormas adalah sikap aparat penegak hukum yang tidak serius menindak ormas yang melakukan tindak kekerasan. Anam melihat selama ini aparat penegak hukum melakukan pembiaran.
Jika serius, Anam melanjutkan, aparat penegak hukum bisa menindak para pelaku tindak kekerasan itu dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Misalnya, KUHP. Dalam ketentuan HAM internasional, Anam mengatakan sebuah organisasi tidak boleh dibubarkan, tapi dibekukan. Pembekuan itu dilakukan dalam rangka perbaikan terhadap organisasi tersebut agar selaras dengan nilai-nilai HAM.
Misalnya, kata Anam, dalam AD/ART sebuah ormas mencantumkan bahwa mereka anti ras tertentu. Kemudian, tindakan yang diperlukan adalah membenahi ketentuan dalam AD/ART yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM itu, namun organisasi yang terkait tidak dibubarkan. Sayangnya, dalam RUU Ormas, ketentuan internasional itu tidak dicantumkan. Sehingga, dalam menjatuhkan sanksi kepada organisasi, seperti surat peringatan, sifatnya sangat objektif. Tergantung keinginan pejabat yang punya kewenangan menjatuhkan sanksi tersebut. “Pembahasan RUU Ormas di DPR itu harus dihentikan selamanya,” tegasnya.
Sedangkan anggota koalisi dari Yappika, Fransisca Fitri, mengatakan dalam KUHP sudah jelas diatur siapapun yang melontarkan kalimat kebencian di depan umum bisa ditindak. Ironisnya, aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan seperti yang diharapkan. Alih-alih menindak ormas yang melakukan kekerasan, Fitri melihat RUU Ormas cenderung memberi lampu hijau kepada mereka.
Misalnya salah satu ketentuan RUU Ormas menyebut bahwa ormas dilarang melakukan penistaan terhadap agama. Namun, tidak dijelaskan siapa yang berwenang menyatakan adanya penistaan tersebut. Bagi Fitri hal itu berpotensi besar menimbulkan subjektifitas. Sehingga dapat memberi rasa legitimasi bagi sebuah ormas melakukan penyerangan terhadap ormas lain yang dinilai melakukan penistaan agama.
Menurut anggota koalisi dari Elsam, Wahyudi Djafar, kelahiran RUU Ormas tidak terlepas dari munculnya kebijakan represif selama lima tahun terakhir. Seperti diterbitkannya UU Intelijen dan UU Penanganan Konflik Sosial (PKS). Dari berbagai kondisi itu Wahyudi merasa ada skenario besar untuk menerbitkan regulasi yang mengendalikan secara ketat gerakan masyarakat sipil.
Selain pemerintah dan DPR yang merasa “gerah” dengan gerakan masyarakat sipil, Wahyudi melihat korporasi juga merasakan hal yang sama. Contohnya, ketika sebuah organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap lingkungan, mengkritisi dampak buruk perkebunan sawit. Ujungnya, para investor perkebunan kelapa sawit yang kebetulan berkebangsaan Indonesia menuding organisasi masyarakat sipil yang bersangkutan tidak nasionalis. “Itulah beberapa hal yang menyebabkan dimunculkannya RUU Ormas,” urainya.
Nasib serupa menurut Wahyudi juga dialami organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu lainnya, seperti anti korupsi. Padahal, keberadaan organisasi masyarakat sipil, termasuk serikat pekerja sangat penting untuk menjaga Indonesia. Pasalnya, jika kebebasan berserikat dikekang, masyarakat tidak dapat bebas mengawasi jalannya pemerintahan. Sehingga kesulitan membongkar praktik korupsi dan pelanggaran hukum lainnya di lingkaran kekuasaan.